SEKITAR KITA

Ini Tanggapan Akademisi Unair Tentang Fenomena Perebutan Jenazah Covid-19

Diterbitkan

-

Memontum Surabaya– Fenomena perebutan paksa jenazah Covid-19 beberapa waktu lalu, membuat masyarakat terkejut dengan peristiwa tersebut, seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti Bondowoso, Situbondo, Jember, dan beberapa daerah lain.

Hal tersebut disebabkann akibat beredarnya kabar di kalangan masyarakat bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit (RS) akan dianggap sebagai kasus Covid-19.

Baca Juga:

    Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), Gatot Soegiarto, menjelaskan, bahwa saat pandemi seperti ini mekanisme penerimaan pasien baru di RS dengan sebelum pandemi memiliki perbedaan.

    “Sebelum pandemi ini memang tidak ada keharusan bagi pasien di rumah sakit untuk melakukan screening apakah menderita penyakit menular atau tidak,” ujarnya, Rabu (28/07).

    Advertisement

    Akibat adanya pandemi, kata Gatot, maka mekanisme penerimaan pasien baru di rumah sakit tentu berbeda. Screening awal yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan ini merupakan cara yang dilakukan untuk mitigasi dampak pandemi.

    “Ketika Covid-19 melanda banyak fakta bahwa dokter dan tenaga kesehatan ternyata ikut terpapar yang tidak jarang membutuhkan perawatan di ICU dan meninggal dunia. Karena itulah dalam rangka mitigasi dampak pandemi perhimpunan profesi menyarankan untuk menggunakan alat pelindung diri yang lebih tinggi,” terangnya.

    Selain penggunaan alat pelindung diri yang lebih tinggi, rumah sakit juga mewajibkan screening bagi semua pasien baru baik yang datang dengan gejala khas Covid-19 atau penyakit tidak spesifik lainnya.

    “Nyatanya ada juga ibu hamil yang datang untuk melahirkan ternyata positif Covid-19, pasien yang datang dengan keluhan pada kulit, mata, gastrointestinal atau trauma akibat kecelakaan kemudian terbukti positif Covid-19,” tuturnya.

    Advertisement

    Gatot menjelaskan bahwa tes rapid antigen yang dilakukan hanya membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit untuk melihat hasilnya.

    “Tapi tes ini bisa juga menghasilkan negatif palsu. Sehingga untuk pasien yang gejalanya sangat mengarah kepada gejala Covid-19 namun hasilnya negatif akan tetap diperlakukan sebagai pasien berisiko tinggi dan harus dilayani dengan prosedur yang berlaku. Hal ini saja sudah banyak menimbulkan kecurigaan masyarakat,” jelasnya.

    Pemeriksaan swab RT-PCR yang hasilnya lebih akurat terkendala waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasilnya. Untuk mendapatkan hasil swab RT-PCR dibutuhkan waktu lebih dari 24 hingga 48 jam.

    Lanjut Gatot,  Jadi jika kondisi pasien gawat dan perlu penanganan segera atau bahkan kemudian meninggal di IGD atau ruang isolasi. Namun, hasil RT-PCR belum keluar hal ini sering menjadi pertentangan antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien.

    Advertisement

    “Rumah sakit dan tenaga kesehatan berkeinginan untuk menerapkan protokol kesehatan yang ada untuk pemulasaraan dan pemakaman jenazah agar tidak terjadi penularan klaster keluarga dan pelayat. Sementara itu keluarga pasien sudah memiliki kecurigaan bahwa pasien akan di-Covid-kan dan berprasangka bahwa rumah sakit dan dokter akan mendapat keuntungan,” imbuh Gatot.

    Selain itu stigma yang berkembang di masyarakat bahwa jenazah yang dimakamkan sesuai protokol kesehatan tidak sesuai syariah agama menjadi pemicu perebutan jenazah kerap terjadi.

    Perbedaan pendapat yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan baik melalui edukasi yang dilakukan oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan. “Emosi yang tinggi pada saat kejadian dan adanya prasangka buruk kepada tenaga kesahatan dan rumah sakit merupakan penghalang yang sangat sulit diatasi. Jika emosi mengalahkan akal sehat maka kekacauanlah yang terjadi,” kata Gatot. (ade)

    Advertisement
    Advertisement
    Click to comment

    Tinggalkan Balasan

    Terpopuler

    Lewat ke baris perkakas